Headhunting di kalangan masyarakat Dusun Ranau dan Labuk.
Headhunting di kalangan masyarakat Dusun Ranau dan Labuk.
Pada 17 Mac 1882, Frank Hatton telah melakukan penjelajahan ke kawasan pedalaman Labuk sampai ke Ranau. Di dalam dairinya pada 17 Mac tersebut beliau menggambarkan mengenai kehidupan bangsa Dusun yg disebut “Sundayak”, dari suku Sogilitan di kawasan Labuk. Beliau menuliskan (terjemahan) :
“Di dekat kawasan kem kami pada malam ini terdapat dua perahu kecil yang terdiri daripada dua pedagang getah percha dari Sarawak dan empat lelaki dari suku Dumpas yang telah bersetuju untuk membawa mereka ke kawasan hulu sungai.
Ketua rombongan tersebut meminta kebenaran untuk menyertai kami, kerana mereka takut dengan bangsa Sundayak dari suku Sogilitan…saya diberitahu bahwa di daerah ini terdapat beberapa ribu orang yang menyebut diri mereka Sundayak.
Mereka memiliki tatoo yang aneh…Mereka merupakan pemburu kepala. Sekitar empat hingga lima minggu lalu, ketua suku Sogilitan iaitu Imbun dan Pongout mengaku bahwa tujuh kepala telah mereka penggal dari suku Tenggara – terletak berdekatan dengan Kinabatangan. – Imbun menjelaskan bahwa terdapat permusuhan di antara suku Sogilitan di ‘Loundat’ dengan suku Tenggara…ketua suku Dayak, iaitu Imbun, telah menawarkan diri untuk menjadi guide, dengan meminta kain sebagai bayaran.
Kami telah mudik agak jauh ke hulu ketika saya mendengar bunyi tembakan senjata api, dan saya mendapati bahwa kaum Dayak tidak lagi memberikan bantuan untuk menjadi guide, dan akhirnya saya mengetahui bahwa lelaki Sogilitan tidak berani untuk mudik ke Tampias, kerana mereka bermusuhan dengan suku kaum Dusun di sana (Hatton, 1886:185-191)”.
Di dalam petikan ini kita mendapati penulis Barat menyebut bangsa Dusun dengan sebutan “Dayak”, tapi di kawasan Labuk kaum Dusun menyebut diri mereka “Sundayak”. Menurut catatan Frank Hatton, kaum Dusun Tampias bermusuhan dengan kaum Dusun di Labuk. Frank Hatton melihat kaum Dusun memiliki kebiasaan menyimpan kepala di rumah.
Ranau beliau melihat kaum Dusun di Ghanaghana menyimpan tengkorak musuh yg dipenggal. Di kawasan Sungai Kinarang di Batokan Ranau, beliau mendapati kaum Dusun di sini bertatoo dan jarang yang tidak bertatoo. Kaum Dusun di sini bermusuhan dengan kaum Murut Loba, Dusun dan Bajau di Mengkabung (Hatton, 1886:210-211). Di dalam buDidaya Dusun, hanya mereka yg pernah ikut berperang dan pernah memenggal musuh saja yang layak ditatoo, seperti yang dijelaskan H. Ling Roth di dalam bukunya (1896:159) :
“…Lieutenant De Crespigny informs us that among the Dusuns only those who have killed a foe tatu themselves (Proc. Roy. Geogr. Soc. ii. 348). Mr. Witti confirms this (Diary, 19th Nov.)…”
Owen Rutter di dalam bukunya juga menjelaskan hal yang sama (1922:335) :
“…North Borneo tattooing is very primitive and the designs vary with different tribes. After the first head the Tambunans used to tattoo the whole front of the body with a scroll design forming a kind of waist-coat…”
-By Dusunology, 3 Julai 2019-